Fenomena Perumahan Yang Mengaku Sebagai Kota Baru Mandiri
Sadar gak sih kalau selama ini semakin banyak komplek hunian baru yang bermunculan disekitar tempat tinggal kita? Fenomena ini biasanya terjadi memang bukan dipusat kota, melainkan di kota yang belasan tahun belakangan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Jika kita perhatikan, sebagian besar dari hunian tersebut memperkenalkan dirinya di berbagai billboard sebagai “Kota Baru”. Sebenarnya apa sih makna dari istilah “Kota Baru” itu sendiri? Benarkah para pengembang itu memberikan nama sesuai dengan konteks kota baru yang sebenarnya dalam teori Perencanaan Wilayah dan Kota? Atau hanya sekedar meninggikan kualitas mereka?
Bahasan ini sebenarnya pernah saya angkat dalam tugas akhir matakuliah Perencaan Kota Baru di semester 6 lalu. Akan saya ulang sedikit pembahasannya disini. Apa sih makna “Kota Baru” itu sendiri? Menurut F.J. Osborn dan Whittick (1968), fungsi kota baru adalah sebagai alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan permukiman tersebar yang tidak terkendali, kemacetan kota besar, serta perpindahan penduduk ke kota-kota besar secara besar-besaran. Pembangunan Kota baru pada hakikatnya merupakan upaya pengembangan suatu bagian wilayah baru menjadi sebuah permukiman yang mempunyai kelengkapan perkotaan[1]. Kota baru dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu kota baru yang dibangun untuk pusat pemerintahan baru; kota baru sebagai penunjang kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam; sebagai penunjang kegiatan pendidikan; dan sebagai solusi permasalahan kota besar dan metropolitan.
Menurut Prof. Ir. Eko Budihardjo dan Prof. Dr. Ir. Djoko Sujarto, definisi dan konsep kota baru mandiri jika dilihat dari segi ekonomi dan sosial adalah ketika kota tersebut mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, atau paling tidak sebagian besar penduduknya, dan secara geografis berlokasi diwilayah tersendiri, berjarak cukup jauh dari kota sekitar 80 Km2 dan bukan lahan pertanian. Kota baru mandiri akan tercipta jika masyarakat tersebut telah terpenuhi seluruh kebutuhan utamanya dalam skala pelayanan lokal. Sebagian besar aktivitas dari masyarakat dilakukan didalam kota tersebut, hanya sedikit pergerakan yang terjadi keluar wilayah karena kemudahan jarak (keterjangkauan) dalam pencapaian ke fasilitas-fasilitas yang tersedia.
Sedangkan, Apa sih definisi dari Kota Baru Mandiri?
Terdapat empat indikator pencapaian suatu kota menjadi mandiri ditinjau dari fungsi sosio-ekonomis, yaitu: memiliki potensi yang mampu menunjang kehidupannya sendiri, berperan sebagai pusat pengembangan wilayah sekitarnya, menjadi daya tarik bagi penduduk sekitarnya (counter magnet), dan memiliki sistem bentuk kota yang spesifik dan geografisnya.[2] Empat poin indikator inilah yang menunjukkan kesuksesan pembangunan kota baru sebagai kota yang mandiri, jika satu poin saja tidak terpenuhi maka pembangunan kota baru dapat dinilai belum sukses.
See? Apakah sekarang tahu jawabannya? Benarkah hunian yang anda pilih merupakan sebuah kota baru mandiri? Apakah sesuai dengan indikator diatas? Jika tidak memenuhi salah satu diantaranya, terutama yang paling esensial yaitu mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam lapangan kerja dan kebutuhan sehari-hari mereka, tentu kota tersebut tidak termasuk kategori kota baru mandiri. Karena yang terjadi pada umumnya adalah konsep lingkungan hunian dengan fasilitas terlengkap layakanya sebuah kota mandiri belum mampu menyediakan kebutuhan utama bagi masyarakatnya, peran besarnya hanya pada lingkungan hunian. Ya, hunian, alias tempat tinggal, hanya perumahan, oleh karena itu fenomena commuterpun tetap tidak terkendali.
Berdasarkan berbagai literatur, mengenai teori perencanaan transportasi, perumahan, dan sistem perkotaan, saya menarik sedikit kesimpulan bahwa: kemandirian sebuah kota baru ternyata akan menjadi sulit untuk dicapai ketika perkembangan kota saat ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Semakin berkembangnya teknologi disuatu kota, maka jelas tentu akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kota tersebut. Perkembangan teknologi dapat memudahkan keterjangkauan akses terhadap lokasi yang letaknya cukup jauh. Namun kemudahan dalam berteknologi jika tidak dilakukan pengendalian justru akan memiliki dampak negatif dalam keberlanjutan suatu proses pembangunan. Karena secara tidak langsung memungkinkan terjadinya perubahan sistem yang direncanakan sebelumnya. Semakin terbukanya akses menuju pusat kota dari sebuah kota baru ternyata kurang mendukung keberlanjutan konsep kemandirian bagi kota baru tersebut.
[1] Djoko Sudjarto, Aspek kepranataan Pembangunan Kota Baru, (Bandung: Jurnal PWK, 1991) hal.11
[2] Fitria Pramudina, Harya Setyaka, Pengalaman Membangun Kota Baru Bumi Serpong Damai, Bunga Rampai: Pembangunan Kota Indonesia Abad 21 (Jakarta: URDI, 2005) hal.254
*semoga tulisan saya bermanfaat. Jika merasa ada yang kurang benar silahkan dikoreksi, karena sebenarnya saya belum tahu apakah analisis saya ini benar atau tidak, karena dosen belum memberikan feedback dari tugas saya ini. :D
Komentar
aku lagi searching tentang kota mandiri, eh keluar blogmu ini hahaha
hebat, hebat *salute* :D