Jakarta-Ku Tak Seperti Dulu


Kota Jakarta terbentuk pada tanggal 22 Juni 1527, dengan nama Jayakarta pada zaman Fatahillah. Sebelumnya di abad ke-14 lebih dikenal dengan nama Sunda Kelapa. Nama Kota ini beberapa kali mengalami perubahan Batavia, Gemeente Batavia, hingga akhirnya memiliki nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta pada September 1945.

UU No 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi DKI Jakarta, dengan 5 wilayah kotamadya dan 1 kabupaten administratif, yaitu Kepulauan Seribu.


Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Kota Jakarta selalu dianggap sebagai kota yang menjanjikan, selain fungsinya sebagai pusat pemerintahan, Jakarta semakin menarik dengan lapangan kerja yang banyak, fasilitas pelayanan publik yang memadai, pembangunan paling maju.

Pada awalnya memang Jakarta hanya berperan sebagai pusat pemerintahan, namun seiring berjalannya waktu ternyata beragam industri juga terbangun di Jakarta, yang terpusat di kawasan Pulo Gadung. Sedangkan beberapa kurun waktu belakangan peran Kota Jakarta semakin bergeser sebagai Kota Jasa yang menyediakan segala jenis pelayanan dan hal-hal yang berhubungan dengan konsumsi dan investasi.

Oke, saya rasa cukup pembahasan fungsi Kota Jakarta dari segi peran kota bagi wilayah lain disekitarnya. Yang ingin saya soroti dalam pembahasan ini sebenarnya bukan hal tersebut diatas, melainkan berbagai fenomena yang semakin marak dibicarakan yang menjadikan Kota Jakarta menjadi lebih sering dipandang sebelah mata. Termasuk saya, sejujurnya saya tidak tertarik untuk melanjutkan karier dan hidup di Kota Jakarta.
  1. Kemacetan
    Tidak perlu banyak membahas hal yang satu ini, karena semua orang pasti tahu bahwa kemacetan Kota Jakarta adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari, bahkan untuk menguranginya perlu sangat banyak pertimbangan. Ya, setiap hari Kota Jakarta selalu macet, tidak hanya di jalan protokol, bahkan didalam area  perumahan dan jalan tikus, kemacetan sangat mudah ditemui. Kebijakan 3 in 1, pembangunan transjakarta, KRL, dan upaya lainnya belum ada yang mampu mengurangi tingkat kemacetan tersebut, bahkan wacana pemindahan Ibukota ke lokasi lainpun terhenti pengkajiannya tanpa hasil yang jelas.
  2. Kepadatan Penduduk
    Ya, penduduk di Kota Jakarta terlalu banyak. Tentu jarang menemukan area yang luas tanpa ada bangunan maupun aktivitas manusia didalamnya. Kepadatan Kota Jakarta saat ini …. Hal ini juga tentu yang mendasari timbulnya berbagai masalah, kemacetan, kriminalitas, bencana akibat ulah manusia, dll.

  3. Kriminalitas
    Belakangan berbagai tindak kriminalitas yang terjadi di Kota Jakarta tampak semakin kejam. Penyewaan bayi untuk mengemis; pemerkosaan, perampokan dan pencopetan yang disertai pembunuhan; penculikan bayi dalam kandungan ibu hamil; penculikan dan penjualan anak; pemerkosaan dan pelecehan seksual diangkutan umum; Tabrakan maut yang disebabkan pengendara yang mabuk …. dll
  4. Kesemerawutan
    Semrawut. Padatnya penduduk dan terlalu banyak stakeholder yang berkepentingan didalamnya membuat Kota Jakarta semakin semrawut. Semrawut dalam hal ini adalah penataan ruang kota, pembangunan yang tidak mengikuti aturan penataan ruang, tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dengan mempertimbangkan daerah rawan bencana dan daerah resapan, tata massa bangunan yang tidak teratur, fungsi guna lahan yang mayoritas mixed use, pembangunan rumah susun yang selalu tidak tepat sasaran yang justru menyebabkan kekumuhan semakin meluas. Semuanya terjadi tampaknya dikarenakan terlalu banyaknya kepentingan yang dirasa perlu diakomodir namun tidak dibentrokkan dengan regulasi yang tegas dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
  5. Banjir
    Banjir merupakan masalah yang tidak terelakkan dan sulit untuk diatasi oleh Kota Jakarta. Semakin berkurangnya daerah resapan air akibat penggunaan lahan terbangun yang mengeksploitasi memang menjadi penyebab utamanya. Perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah disungai dan membangun dibantaran juga menjadi faktor pendukung. Berbagai upaya memang telah banyak dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, Proyek Pembangunan Banjir Kanal Barat dan Timur diantaranya. Proyek ini direncanakan untuk membantu mengakomodir lintasan volume air yang besar dan sudah tidak mampu tertampung dalam saluran drainase yang telah ada.
  6. Kehidupan dan karakteristik manusia yang keras
    Kesibukan, kesemerawutan, polusi, kemacetan agaknya berdampak pada psikis dan emosi masyarakat Kota Jakarta. Tingkat stress dan emosi individu masyarakatpun menjadi semakin meningkat.
  7. Kehidupan glamour dan konsumtif
    Pola kehidupan yang dipengaruhi budaya luar menjadikan masyarakat Kota Jakarta menjadi lebih konsumtif. Para generasi muda dan eksekutif berlomba-lomba menggunakan kartu kredit demi menonton konser, membeli gadget terbaru, makan di restoran mahal, namun tidak mempertimbangkan investasi untuk hidupnya dimasa depan, seperti perencanaan kehidupan keluarga, pembelian rumah, dan pendidikan bagi anak-anak mereka.
  8. Pemerintahan yang mengedepankan politik
    Hukum yang semakin erat dengan politik. Hukum menjadi lebih fleksibel ketika dihadapkan dengan politik, terutama politik kekuasaan dan politik uang. Tindak pencurian barang kecil yang tidak disengaja memiliki hukuman yang lebih berat dibandingkan para koruptor yang memakan uang negara. Para aparatur pemerintahan juga kerap meminta pelayanan lebih atas pekerjaannya namun tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan pada masyarakat.
Ironis memang kondisi Ibukota saat ini, jika ingin membenahinya tentu bingung untuk mulai darimana. Pemimpin tentunya merupakan sosok yang lebih dapat diharapkan. Namun pemimpin itu bukan hanya yang berasal dari luar diri, pemimpin keluarga dan pemimpin untuk diri sendiri juga setidaknya berdampak positif. Seperti kata-kata Aa Gym, 3M, Mulai dari hal yang kecil, Mulai dari diri sendiri, dan Mulai dari sekarang. (penutupnya gak nyambung ya, haha. no ideas)

Komentar

Postingan Populer