Pola Tata Desa: Kampung Naga

 

Kamis, 30 Juni 2011. Semangat sekali pagi itu, saya bangun jam5 pagi bergegas mandi dan menuju ke kampus. Karena hari sebelumnya teman saya tiba-tiba mengajak untuk pergi ke Kampung Naga. Padahal hari sebelumnya baru terlintas dibenak saya secara #random untuk berwisata alam mengisi waktu disela-sela liburan KP. Sebelumnya saya juga pernah berwisata ke kawasan yang memiliki kearifan lokal yaitu Kampung Baduy. Banyak hal yang saya kagumi disana, hal inilah yang menyebabkan saya berekspektasi yang sangat tinggi dalam perjalanan menuju lokasi.

Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 4 jam (lama ya?) karena kami sempat salah jalan hingga ke Kota Tasikmalaya, padahal lokasi berada di Kota Garut. Sesampainya disana, udara masih sejuk, padahal waktu telah menunjukkan Pukul 11.45. Kami langsung dihampiri oleh dua orang berpakaian batik, dan menggunakan kopiah hitam dan ikat kepala dengan motif yang hampir sama. Perjalanan dimulai dengan menuruni 420 anak tangga yang terbuat dari bebatuan dan beton yang cukup kuat. (Jujur saya takut ketinggian saat itu, karena tangganya cukup curam dan tidak ada pegangan maupun penyangga disisi kanan-kirinya).

 

 view    kampung naga 2

  259888_2044871854704_1631617466_2024490_6746549_n     kampungnaga 1

Berhubung saya sangat ingin tahu mengenai kampung naga ini, sayapun banyak mengobrol dengan bapak Guide itu. Di kuliah Perencanaan Perdesaan, ada bab yang membahas mengenai Pola Tata Desa yang mengangkat contoh kasus Kampung Naga. Kampung ini memiliki tata letak yang jelas mengenai pola penggunaan lahannya. Setiap guna lahan memiliki batasan yang jelas dan tidak boleh dilanggar. Kawasan permukiman contohnya, dibatasi dengan pagar bambu yang tidak boleh digeser, tidak ada rumah yang boleh terbangun diluar pagar tersebut. Mereka juga memiliki hutan larangan yang tidak boleh dikunjungi, dengan alasan menjaga kelestariannya. Simpel sebenarnya kalimat larangannya “Kalau kita tidak mau diganggu, ya Janganlah mengganggu.” Tapi masyarakat disana sangat patuh pada peraturan adat mereka.

 

image

 

Tapi saya agak kecewa dengan Guide yang membawa kami berkeliling. Kurang informatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Sedikit percakapan saat itu

D: Pak, sebenarnya apa sih yang menyebabkan kampung ini unik dan menjadi kawasan wisata cagar budaya?
G: Hmm, apa ya? Ya begini ini, atapnya dari ijuk, rumahnya rumah panggung.
D: Kalau mengenai adat pak? Disini masih kental kan budaya leluhur mungkin?, Katanya ada makam keramat Pak? Boleh kita kesana?
G: Udah terpengaruh modern juga sebenernya, Makam keramat? gak ada.

D: Mulai jengkel, kok diperkuliahan dikasih tau, tapi masyarakat adat sini masa gak tau? Oh, mungin dirahasiakan kali ya
D: Pak, kalau nama kampung naga ini darimana ya? Kok lucu namanya naga?

G: Hmm, darimana ya. Kayaknya mah kebetulan aja ada yang namain.

Karena saya masih sangat penasaran dan belum mendapat jawaban yang memuaskan, keesokan harinya saya klik Om Google. Dan ternyata lebih informatif. Selamat berkunjung dan selamat mencari tahu lebih lanjut.

Seandainya penataan ruang kota dan wilayah di Indonesia  mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang sudah dibuat, tentu permasalahan pembangunan tidak marak seperti sekarang. Peran dan partisipasi masyarakat memang sangat dibutuhkan dalam perencanaan.

all

Komentar

Postingan Populer