Entah Salah Siapa

Untuk masalah sekolah, dari kecil memang saya tidak pernah mempunyai pilihan sendiri, semua bergantung pada orangtua. Mereka yang memberikan beberapa pilihan kepada saya disertai dengan rekomendasi dari kakak saya. Sampai pada pemilihan universitas juga demikian, saya dianjurkan memilih ITB dengan berbagai alasan yang menarik. Walaupun saat itu UI juga menjadi alternatif pilihan tawaran mereka. Yang parahnya lagi, untuk masalah jurusanpun saya juga diberikan beberapa pilihan tawaran. Antara arsitektur maupun perminyakan, padahal awalnya saya ingin melanjutkan studi dibidang ekonomi maupun bisnis. Tapi ibu saya mengatakan bahwa beliau bosan dengan bidang ekonomi, ingin anaknya memiliki keahlian lain. Karena ayah dan kakak saya sudah lebih dulu berkecimpung dibidang tersebut. Oke saat itu saya menerima, dan mencoba membuka mata dan mencari tahu banyak hal tentang jurusan-jurusan lain.

Hingga saat kelas XI (2 SMA), ketika saya positif diterima dijurusan IPA, kakak dan ayah saya bersemangat mengenalkan jurusan teknik perminyakan dengan berbagai argumentasi yang menyenangkan. Sehingga saat itu saya menjadi sangat tertarik untuk mengambil jurusan tersebut. Setelah peristiwa itu, setiap ada orang yang menanyakan kepada saya ingin mengambil jurusan apa nantinya saat kuliah, saya selalu menjawab dengan antusias "Teknik Perminyakan!". Entah doktrin apa yang mereka perbuat sehingga saya sangat terobsesi pada waktu itu. Sampai suatu saat saya pernah merasa sangat jengkel dengan teman saya yang menertawakan ketika saya menjawab bahwa saya ingin masuk jurusan Teknik Perminyakan ITB saat kuliah nanti.  Ia menertawakan karena merasa jurusan itu aneh, ia tidak tahu apa yang akan dipelajari disana dan keuntungan apa saja yang dapat kita peroleh ketika lulus dari jurusan itu kelak.

Alasan saya sangat bersemangat masuk ke jurusan tersebut bisa dikatakan kurang kuat, karena sebenarnya bukan berasal dari keinginan hati saya yang paling dalam. Kembali lagi karena cerita dari ayah dan kakak saya tentang berbagai kenikmatan yang akan diperoleh ketika lulus nanti. Mereka mengatakan bahwa kilang minyak sesungguhnya tidak akan habis, karena persediaan dialam sangat banyak, hanya manusia saja yang kurang mengeksplor. Mereka juga menambahkan bahwa, kalau perempuan yang bekerja dibidang ini sungguh hebat dan menyenangkan, karena ia tidak akan langsung terjun ke lapangan setiap hari seperti pekerja laki-laki pada umumnya, hanya menjadi pengontrol, pengendali dan pemantau dari jarak jauh, hanya sesekali mereka terjun ke lapangan. Dan berbagai alasan lain yang pastinya membuat saya semakin tergiur. Namun yang paling menyemangati saya adalah ketika ayah saya berkata bahwa sahabat beliau yang bekerja di Petronas sudah berjanji akan merekrut saya jika saya berhasil lulus dengan nilai yang terbaik. (Wow, siapa yang tidak tergiur jika ditawarkan iming-iming seperti ini?)

Hingga akhirnya pada Maret 2008, saya mengikuti Ujian Saringan Masuk ITB gelombang1. Anehnya saat itu saya tidak memilih Teknik Perminyakan (FTTM) dipilihan pertama. Tapi justru Sekolah Farmasi (SF), FTTM, dan terakhir SAPPK. Lagi-lagi saya memilih jurusan karena diarahkan oleh orang lain, yaitu kakak saya. Saya sangat percaya pada pendapata beliau, karena menurut saya beliau telah lebih dahulu mengetahui gambaran tentang dunia perkuliahan dan beliau juga pasti lebih berpengalaman, dan sering mendapat  berbagai cerita dari kerabatnya. Beliau menganjurkan saya untuk memilih SF dipilihan pertama dengan alasan peluang kerja yang lebih luas dan pekerjaan yang baik untuk perempuan.

Sayang, Allah berkehendak lain. Saya tidak diterima dipilihan pertama, yang sejujurnya saya juga tidak mengharapkannya. Tetapi pilihan kedua juga tidak berhasil saya tembus. Anehnya, saat itu saya sangat senang dapat diterima dipilihan ketiga saya. Padahal yang saya incar dari dulu adalah pilihan kedua. Mungkin hal ini terjadi karena rasa syukur dan bangga atas apa yang telah saya raih. Tes pertama langsung berhasil! (Siapa orang yang tidak senang dengan hal ini?). Dan saat itu hanya sedikit sekali teman satu sekolah dan tempat les saya yang diterima pada USM yang pertama ini.

Sore harinya, ketika pulang dari tempat les, saya langsung menceritakan berita yang menggembirakan ini pada ibu saya, yang kebetulan saat itu menjemput. Namun ibu saya memberikan respon yang sangat tidak saya harapkan. Kecewa dan langsung menangis saat itu karena merasa usaha saya tidak dihargai selama ini. saat itu beliau hanya berkata "Loh kok keterimanya Arsitektur sih? Kenapa nggak perminyakan?". Sesampainya dirumah ayah saya memberikan respon lain yang cukup menghibur, beliau mengucapkan selamat kepada saya. Kemudian beliaulah yang memberikan semangat kepada saya, jika ingin mencoba lagi. Tanpa menjatuhkan sedikitpun, bahkan justru mengajak ibu saya untuk juga memaklumi dan menghargai usaha dan hasil yang telah saya raih.

Beberapa bulan kemudian, ketika saya telah melakukan daftar ulang dan segala macam administrasi pembayaran sebagai mahasiswi baru ITB angkatan 2008 yang lulus dari USM 1 dan setelah ayah saya mengetahui bahwa persentase peluang  lulus SPMB hanya berbeda 5% dari USM, bahkan dengan bayaran yang lebih murah, ayah saya mengungkit kembali. Beliau berkata "Wah kalau tau kamu cuma mau keterima di SAPPK mendingan ikut SPMB aja ya kemarin, peluangnya sama, bayarnya bisa lebih murah tuh." Namun respon saya hanya diam saja saat itu. Merasa kesal dan kecewa pastinya, bertanya-tanya dalam hati mengapa beliau baru mengatakan hal ini sekarang??

Sebuah pertanyaanpun beberapa kali terulang ketika kami sedang berkumpul bersama, Apakah lulusan arsitektur atau planologi tetap bisa bekerja dibidang perminyakan? Dan saya selalu menjawab "YA" dengan berbagai alasan. Kakak saya sangat menganjurkan saya untuk masuk ke jurusan arsitektur, karena beliau menganggap peluang kerjanya lebih banyak dan menurut cerita dan pengalaman teman-temannya, banyak dari mereka yang dapat part-time job sebelum lulus kuliah. Sedangkan jika masuk planologi, yang beliau tahu kebanyakan hanya bekerja di dinas pemerintahan. Oke saat itu saya terima, karena saya juga belum merasakan perbedaan yang berarti antara kedua jurusan tersebut.

Finally, saya ternyata lebih memilih untuk masuk ke jurusan planologi, karena merasa lebih enjoy dengan mata kuliah-nya menurut pengalaman saya belajar Tekpres (Teknik Presentasi san Komunikasi). Selain itu saya juga merasa kuliah planologi akan lebih santai dari arsitektur yang pastinya akan banyak diberi tugas dan akan banyak tekanan. Dengan segala argumentasi yang saya utarakan pada mereka, merekapun memakluminya dan berharap yang terbaik bagi saya, apapun itu jurusan yang saya pilih, asalkan saya bisa survive dan berhasil mendapatkan apa yang saya cita-citakan, membanggakan bagi mereka karena dapat memberi manfaat bagi orang lain.

Entah mereka yang memandang sebelah mata atau karena kurangnya informasi yang mereka dapatkan atau mungkin memang saya yang salah memilih jurusan, entahlah. I don't care for that. Yang saya rasakan selama ini adalah saya masih bisa survive dijurusan ini, dapat menerima pelajaran dan melaksanakan ujian dengan baik, walaupun belum pernah mencapai nilai yang sempurna. Saya tetap berpikir terserah mereka berkata apa  kemarin, karena saya akan membuktukannya dengan menunjukkan transkrip nilai saya yang Insya Allah memuaskan disemester ini. (amiiin ya Allah).

Setelah lama tidak ada pembahasan mengenai perkuliahan saya, tiba-tiba pagi tadi ayah saya  kembali bertanya.
Papa : Dijurusan kamu, rata-rata lulusannya jadi apa? kerja di dinas ya?
Saya : (Terdiam sejenak karena bingung menjawab apa). Nggak kok, malah dikit yang kerja di dinas, kebanyakan kerja di swasta, bank atau buka usaha sendirii. (agak asal memang).
Papa : Emang planologi masih bisa kerja di TOTAL ya?
Saya : Bisa. jadi di bidang pemeliharaan lingkungan dan yang berhubungan dengan sistem perkotaan yang berkelanjutannya (lagi-lagi ngasal, karena tidak suka dengan pembahasan ini)
Papa : Enak lho padahal kerja dibidang perminyakan lalalalalala
Saya : (Berusaha untuk pura-pura tidak mendengar)

Actually, saya juga pernah merasa kecewa karena belum bisa memenuhi permintaan mereka. Selama ini saya juga terkadang masih iri dengan teman-teman yang berkuliah dijurusan itu, namun apa boleh buat, menyesali yang sudah lewat itu memang tidak perlu. Hanya kata MAAF yang bisa saya ucapkan dalam hati saat ini, karena saya juga belum dapat memberikan bukti apa-apa ubtuk saat ini kepada mereka.

Tapi saya mohon jangan diungkit-ungkit kembali kegagalan saya kemarin. Toh, banyak jalan menuju Roma kan? Lagipula ayah saya sendiri yang sering berkata bahwa manusia boleh berencana, tetapi Allah-lah yang selalu berkehendak, menentukan yang terbaik bagi hamba-Nya. Entah ini salah siapa dan siapakah yang seharusnya dipersalahkan?

Komentar

Adhamaski Pangeran mengatakan…
tenang, iming2 masuk plano adalah bisa kerja di mana aja, hahahahhaha
Anonim mengatakan…
hai, ga sengaja nemu blogmu.. ^^.

cuman mau share aja, masuk planologi menyenangkan kok. n_n.
kita bisa belajar banyak hal. lingkungan. ekonomi. arsitektur. macem2.

saya yang udah 4 tahun ini kuliah di planologi justru malah seneng. ^^.

kalo emang orang tua kurang mensupport, justru kita harus menunjukkan kalo emang kita bisa disitu.

allah sudah mengatur jalan hidup seseorang. Dia tau mana yang terbaik buat kita. jadi, jika kita ditakdirkan atau diberikan sesuatu hal yang bukan mau kita, itu pasti ada alasan. ambil positifnya yaaa.. ^^.

ayo maen2 ke UB, hehe.
Debby Rahmi Isnaeni mengatakan…
makasi banyak motivasinya kak. Alhamdulillah sekarang orangtua udah nerima karena nilai saya juga mendukung. :)

Postingan Populer