Prihatin sih, tapi..

Hal seperti ini sebenarnya sudah sering saya temukan dibeberapa tempat, terutama di Jakarta.
Kejanggalan ini memang sering membuat orang penasaran bertanya-tanya, mengapa harus melakukan ini? seperti tidak ada kegiatan lain saja yang bisa dilakukan. Tubuh sehat, fisik normal, usiapun masih muda, Kenapa harus mengemis dipinggir jalan?, Mengapa harus berbohong dan menipu orang lain? Mengapa harus mengeksploitasi anak-anak mereka untuk mendapatkan uang? Sekeras itukah kehidupan zaman sekarang, sehingga memaksa orang untuk berbuat hal yang mungkin akan  menurunkan harga dirinya sendiri.

Prihatin sih, tapii.. 
Pasti tidak hanya saya yang sering merasakan hal ini. Jika melihat anak-anak dijalan harus berjualan, mencari uang disaat teman-teman sebaya lainnya sedang bermain satu sama lain, sedang menuntut ilmu disekolah untuk mencapai cita-citanya. Mungkin, anak ini juga tidak menginginkan untuk melakukan hal ini, tapi lagi-lagi pengaruh dari orangtua yang membuatnya melakukan ini. Mungkin dengan permohonan yang lembut, hingga ancaman tidak diberi makanan atau uang jajan, anak-anak tersebut di-atur untuk bekerja mencari uang. Yang mungkin hasilnya tidak akan dinikmati dalam jumlah besar oleh anak-anak tersebut. justru orangtua mereka itulah yang menguasainya. Mereka menjadikan anaknya sebagai alat untuk mencari uang yang banyak.

Kemarin, tepatnya 19 Desember 2009, saat saya bertugas untuk survey menghitung jumlah kendaraan, hambatan jalan, dan bangkitan tarikan dari sebuah gedung, tiba-tiba ada 3 bocah kecil yang datang menghampiri saya. Awalnya saya biasa saja, karena melihat mereka membawa koran yang terbungkus plastik. Ah cuma tukang koran biasa.(pikir saya). Terjadilah dialog antara saya dan 3 bocah itu :
Bocah 1 : Kak, beli koran doong kaa
Saya : (Tidak merasa tertarik dengan koran tersebut, karena sedang sibuk menghitung kendaraan). Maaf dek, nggak mau.
Bocah 1 : Ayoo belilah kak, buat makan kak
Bocah 2 : Iyaa kak, Bandung Epessh nih beli doong, (a.k.a Koran Harian Bandung Express)
Saya : Aduh maaf dek, nggak usah ya
Bocah  1 : Yaudah deh kak, beliin kita eskrim aja yaa
Saya : Lho? (bingung karena permuntaannya berubah)
Akhirnya saya memutuskan untuk membelikan 1 dengan syarat mereka harus berbagi bertiga. Tapi apa yang terjadi..
Bocah 2 : aku mau yang ini
Bocah 1 : Aku yang inii!
Bocah 3 : Aku yang coklat dong mbaak!
Saya : Tunggu-tunggu, 1 aja yaa kan tadi janjinya dibagi 3?
Bocah 2 : Aku mau cendiyiii..
Bocah 3 : Aku jugaa
Bocah 1 : beliin tiga doong teeh
Saya : Yaaah, iya deh

Mereka sudah memegang eskrim masing-masing. 5 menit kemudian segerombolan teman-teman mereka pun datang dan menyerbu meja saya. Sambil berwajah melas sayapun tidak tega. Tapi apa boleh buat, uang didompet juga menipis. Akhirnya saya membelikan satu lagi, lalu berkata pada semuanya " Ayooo temennya yang ga dapet dibagi yaa, harus baik sama temennyaa!". Tapi respon mereka berbeda-beda. Ada yang bilang "inii siapa yang mauu", ada juga yang bilang "iihh kamuu gak boleeh, ini punya akuu!"
Tiba-tiba saya terpikir bahwa karakter anak-anak ini, mungkin dipengaruhi oleh didikan orangtua mereka dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga.

Kemudian tidak lama berselang teman saya datang dan mengatakan bahwa mereka itu diawasi oleh para orangtuanya dari kejauhan, dikontrol kerjanya. Kalo tidak sesuai keinginan orangtuanya, mereka dimarahi didepan umum. Miris melihatnya, tapi mau bagaimana lagii.
Dan ketika saya menengok ke arah yang ditujukan teman saya, saya tertegun saat melihat ada segerombolan ibu-ibu dengan pakaian yang cukup bagus sedang berbincang-bincang dengan santainya, bahkan ada yang sedang berbicara di telepon genggamnya, seakan tidak khawatir terjadi apa-apa pada anak mereka yang sedang 'bermain' dipinggir jalan tersebut.

Komentar

Postingan Populer